Jumat, 27 Mei 2011

PENGAWASAN EKONOMI (WILĀYAH AL-ĤISBAH) DALAM ISLAM


Oleh: Noprizal
Sebuah lembaga dalam suatu negara muncul karena kebutuhan terhadap lembaga tersebut, tanpa adanya lembaga itu, maka sulit untuk mencapai tujuan sebuah negara. Dalam Islam, kemunculan sebuah lembaga harus berdasarkan landasa syari’ah yang jelas. Wilayah al-hisbah muncul karena kebutuhan untuk menciptakan al-amru bi al-ma’ruf wa nahy an al-munkar. Terlaksananya aktivitas ekonomi yang baik dan persaingan yang sehat dikalangan pengusaha dan terhadap konsumen merupakan bagian dari al-amru bi al-ma’ruf dan nahy an al-munkar.
Tulisan ini mencoba untuk mengemukakan: apakah yang menjadi landasan hukum keberadaan lembaga ini? Bagaimanakah perkembangan dan pertumbuhan lembaga ini pada masa Rasulullah saw hingga Khalifah Bani Abbasiyah? Dan bagaimanakah bentuk wewenang dan kekuasaan lembaga ini dari pada masing-masing periode?


A.    Pendahuluan

Wilayah al-hisbah merupakan sebuah lembaga non peradilan dalam tatanan sebuah negara dan merupakan suatu keharusan dalam Islam, karena begitu urgensinya lembaga ini untuk memastikan umat Islam menjalankan seluruh kewajiban seperti: mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa dan lain sebagainya, dan meninggalkan seluruh larangan syari’at Islam seperti: larangan mencuri, mabuk-mabukan, berzina dan lain sebagainya.
Wilayah al-hisbah (pengawasan ekonomi) sudah ada semenjak Rasulullah saw. memimpin umat Islam di Madinah al-Munawwarah, selanjutnya diteruskan oleh khalifah-khalifah sesudahnya seperti: Khulafa’ al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), khulafa’ Bani Umayyah, dan Khulafa’ Bani Abbasiyah.
Pada awalnya lembaga ini mempunyai peran yang sangat luas, meliputi kepastian terlaksananya al-amru bi al-ma’ruf wa nahy an al-munkar, tidak terbatas pada persoalan ekonomi saja. Beriringan dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam maka pada periode selanjutnya lembaga ini hanya menangani persoalan ekonomi.
Melihat kepada keadaan di atas maka tulisan ini mencoba untuk mengemukakan: apakah yang menjadi landasan hukum keberadaan lembaga ini? Bagaimanakah perkembangan dan pertumbuhan lembaga ini pada masa Rasulullah saw hingga Khalifah Bani Abbasiyah? Dan bagaimanakah bentuk wewenang dan kekuasaan lembaga ini dari pada masing-masing periode?

B.     Pengertian dan Dasar Hukum Wilāyah al-ĥisbah

1.      Pengertian
Wilāyah al-ĥisbah (ولاية الحسبة) secara etimologi terdiri dari dua suku kata, yaitu wilāyah (ولاية) dan al-ĥisbah (الحسبة). Wilayah berarti kekuasaan, dan kewenangan.[1] Sedangkan al-ĥisbah (الحسبة) berasal dari akar kata (حسب – يحسب – حساب) yang berarti menghitung (reckoning, computing), kalkulasi, berpikir (thinking) memberikan opini, pandangan, dan lain-lain. Sementara al-ĥisbah (الحسبة) itu sendiri berarti imbalan, pengujian, melakukan suatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan.[2] Dengan demikian, secara harfiyah dapatlah dikatakan bahwa wilāyah al-ĥisbah itu adalah kewenangan melakukan suatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi wilāyah al-ĥisbah yang dikemukakan oleh para ulama’ sebagaimana yang akan diuraikan berikut ini:

a.       Imam al-Mawardī[3],
الحسبة هي أمر بالمعروف، إذا ظهر تركه، ونهي عن المنكر إذا ظهر فعله. [4]
al-Ĥisbah merupakan wewenang untuk menjalankan amar ma`rūf ketika yang ma`rūf itu sudah jelas-jelas ditinggalkan orang dan mencegah yang mungkar ketika sudah terang-terang dikerjakan orang.
Definisi dengan redaksi yang sama dikemukakan juga oleh ِAbū Ya`lā Muhammad bin al-Ĥusain al-Farā’[5] dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulţāniyah.[6]
Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa suatu perkara akan menjadi wewenang wilāyah al-ĥisbah apabila yang ma`rūf ditinggalkan orang secara terang-terangan dan kemungkaran juga dilakukan secara terang-terangan, seperti orang yang makan dan minum pada bulan Ramadan di tempat umum serta orang yang meminum minuman keras ditempat umum. Dengan demikian, dapat juga dipahami bahwa apabila yang ma`rūf ditinggalkan orang secara sembunyi-sembunyi/tidak terang-terangan dan kemungkaran juga dilakukan secara sembunyi-sembunyi/tidak secara nyata, maka tidak lagi menjadi wewenang wilāyah al-ĥisbah, melainkan menjadi wewenang peradilan biasa atau wilāyah al-qadlā’ (ولاية القضاء).[7]
b.      Ibnu Taimiyah,[8]
Ibnu Taimiyah tidak menjabarkan secara langsung apa yang dimaksud dengan wilāyah al-ĥisbah, meskipun demikian, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan institusi al-ĥisbah olehnya adalah:
وَأَمَّا الْمحتِسْب: فَلهَ ُ الأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ مِمَا لَيْسَ مِنْ خَصَائِصِ الْوُلاةِ وَالْقُضَاةِ ، وَأَهْلِ الدِّيوَانِ وَنَحْوِهِمْ. [9]
Adapun yang dimaksud dengan al-muĥtasib adalah yang diberi wewenang untuk menjalankan amar ma`rūf dan mencegah yang mungkar, tidak termasuk wewenang peradilan, pejabat administrasi dan sejenisnya.
Berdasarkan pengertian inilah dapat ditangkap makna bahwa yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyah adalah sebuah institusi yaitu wilāyah al-ĥisbah. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa wilāyah al-ĥisbah menurutnya adalah lembaga yang mempunyai wewenang untuk menjalankan amar ma`rūf dan nahy an al-munkar selain dari wewenang peradilan, pejabat administrasi dan yang sejenis dengan itu.
c.       Ibnu Khaldūn,[10]
Menurut Ibnu Khaldūn wilāyah al-ĥisbah adalah
أما الحسبة فهي وظيفة دينية من باب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر الذي هو فرض على القائم بأمور المسلمين، يعين لذلك من يراه أهلا له، فيتعين فرضه عليه، ويتخذ الأعوان على ذلك، ويبحث عن المنكرات، ويعزر ويؤدب على قدرها، ويحمل الناس على المصالح العامة في المدينة. [11]
Al-ĥisbah ialah kewajiban keagamaan yang berkaitan dengan menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar yang merupakan kewajiban pemerintah untuk menentukan (mengangkat) orang yang melaksanakan tugas tersebut. Batas-batas kewenangannya ditentukan oleh pemerintah demikian juga pembantunya untuk melaksanakan tugas tersebut. Ia menyelidiki kemungkaran, menta’zir dan mendidik orang yang melakukan kemungkaran tersebut dan membimbing masyarakat untuk memelihara kemaslahatan umum di perkotaan.
Pengertian yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldūn ini menerangkan bahwa al-ĥisbah di sini merupakan tugas-tugas dari al-muĥtasib yang ditunjuk langsung oleh pemerintah dan bukannya kewajiban setiap muslim. Definisi inilah yang mengindikasikan perlunya sebuah lembaga yang khusus menangani pelanggaran terhadap al-amru bi al-ma`rūf wa nahy an al-munkar.
Beradasarkan ketentuan ini dapatlah dibedakan antara personal yang melaksanakan amar ma`ruf dan nahy munkar yang dikenal dengan istilah al-mutaţawwi` (المتطوع)[12] dengan sebuah lembaga khusus yang menangani perkara tersebut.
d.      Nicola Ziadeh, sebagaimana yang dikutip oleh A. A. Islahi, mendefinisikan al-ĥisbah sebagai “sebuah kantor atau lembaga yang berfungsi untuk mengontrol pasar dan moral secara umum”.[13]
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Ziadeh ini terlihat dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan al-ĥisbah olehnya adalah sebuah lembaga yang mempunyai tugas khusus untuk mengawasi pasar.
Bila dilihat dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama’ di atas ternyata tidak terdapat perbedaan yang mencolok dalam menyampaikan maksud dari wilāyah al-ĥisbah tersebut dalam hal al-amru bi al-ma`rūf wa nahy an al-munkar. Namun terdapat perbedaan penekanan terhadap aspek-aspek tertentu, seperti al-Mawardi mengungkapkan wewenang wilāyah al-ĥisbah terhadap pelanggaran agama yang terang-terangan, Ibnu Khaldūn menganggapnya sebagai kewajiban pemerintah, dan Ibnu Taimiyah juga menganggapnya sebagai sebuah kewajiban pemerintah di luar wewenang peradilan, serta Nicola Ziadeh yang lebih menekankan kepada sebuah lembaga yang diberi wewenang khusus untuk mengawasi pasar.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa wilāyah al-ĥisbah tersebut adalah suatu lembaga yang khusus menangani persoalan-persoalan moral di tengah-tengah masyarakat, sehingga wewenangnya lebih luas dari dua peradilan lainnya, yakni wilāyah al-qadlā’ (peradilan biasa) dan wilāyah al-maźālim (peradilan khusus kejahatan para penguasa dan keluarganya).[14]
Wilāyah al-ĥisbah adalah satu institusi yang sudah ada sejak zaman pemerintahan Rasulullah S.A.W. di Madinah, walaupun pada waktu itu nama al-ĥisbah tidak dikenal secara resmi. Umpamanya, bagi mereka yang bertugas mengawasi perjalanan perniagaan di pasar dikenal sebagai ‘Pengawas Pasar’ (Saĥib al-sūq) atau ‘Petugas di Pasar’ (al-Amil fi al-Sūq). Keberadaan wilāyah al-ĥisbah ini diteruskan oleh pemerintahan Islam selanjutnya dengan peranan yang lebih luas. Ada di antara pemerintah menamainya dengan al-ĥisbah, tetapi terdapat juga nama lain yang digunakan sebagaimana nama-nama yang telah penulis sebutkan di atas. Biar apa pun nama yang diberikan, wilāyah al-ĥisbah ini tetap eksis dalam pemerintahan Islam karena ia adalah salah satu sendi utama pemerintahan Islam yang berdiri dengan konsep al-amr bi al-ma`rūf wa al-nahy an al-munkar.
2.      Dasar Hukum
Pada dasarnya dalam ajaran Islam, setiap muslim berkewajiban melaksanakan amar ma`rūf dan nahy munkar. Namun dalam masalah-masalah tersebut ada suatu badan yang secara khusus menanggulanginya. Dalam Islam badan tersebut dikenal dengan sebutan wilāyah al-ĥisbah. Adapun dasar hukum dibentuknya lembaga tersebut sangat banyak sekali terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, di antaranya firman Allah swt. dalam surat Ali Imran ayat 104 berikut ini:




Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran: 104)
Kata (ولتكن) pada ayat di atas dalam bentuk perintah, sedangkan hakikat perintah itu adalah mengacu kepada kewajiban, tetapi perintah di sini menurut Ibnu Khaldun bukanlah merupakan fardhu ain, melainkan fardhu kifayah. Dengan demikian jika telah dilakukan oleh seseorang maka gugurlah kewajiban bagi kaum muslim yang lain.[15]
Quraish Shihab menafsirkan kata منكم pada ayat di atas dengan sebagian kamu tanpa menutup kewajiban setiap muslim untuk saling ingat mengingatkan. Kata منكم disesuaikan artinya dengan membandingkannya dengan ayat lain pada surat al-Aşr yang menilai semua manusia dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh serta saling mengingatkan tentang kebenaran dan ketabahan.[16]
Kalimat di atas juga menggunakan dua kata yang berbeda dalam rangka perintah dakwah. Pertama يدعون (mengajak) dan kedua يأمرون (memerintahkan). Kata mengajak (يدعون) dikaitkan dengan الخير, sedangkan perintah untuk tidak melakukan, yakni melarang (ينهون) dikaitkan dengan المنكر. Kata الخير adalah nilai universal yang diajarkan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Al-Khair menurut Rasulullah saw., sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Kaśir adalah mengikuti al-Qur’an dan Sunnahku.[17] Sedang المعروف adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat selama sejalan dengan الخير. Adapun المنكر adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi.[18] Jadi urutan yang mesti dilakukan adalah mengajak kepada kebajikan, kemudian memerintahkan kepada yang ma`rūf, dan mencegah dari kemungkaran.



Demikian juga halnya firman Allah swt. dalam surat al-A’rāf ayat 157 yang berbunyi:

Artinya: (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-A’raf: 157)
Surat al-A’rāf ayat 157 di atas menegaskan bahwa orang yang mengikuti Rasulullah saw. dan menyuruh mengerjakan yang ma`rūf dan melarang dari kemungkaran, sebagai tugas al-ĥisbah, adalah orang-orang yang beruntung.
Ayat ini juga membantah anggapan orang-orang Yahudi pada masa Nabi Muhammad saw. yang beranggapan bahwa mereka termasuk yang akan memperoleh janji Allah sebagaimana yang disebutkan pada ayat sebelum ini (ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya yang menyebutkan bahwa “rahmat Allah itu meliputi segala sesuatu”). Untuk meluruskan kekeliruan itu ayat ini menegaskan bahwa, bukan kalian yang akan mendapat rahmat itu, tetapi yang akan meraihnya adalah orang-orang yang terus menerus dan tekun mengikuti Nabi Muhammad saw, yang merupakan Rasulullah saw, Nabi yang ummi.[19]
Selanjutnya firman Allah swt. dalam surat Luqman ayat 17 yang menyatakan:




Artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman: 17)
Surat Luqman ayat 17 menjelaskan tentang tiga amal yang diutamakan yaitu: Mendirikan shalat dengan sempurna syarat, rukun, dan sunnah-sunnahnya. Memerintahkan kepada yang ma`rūf dan mencegah dari kemungkaran, serta sabar terhadap segala macam cobaan. Menyuruh mengerjakan ma`rūf, mengandung pesan untuk mengerjakannya, karena tidaklah wajar menyuruh sebelum diri sendiri mengerjakannya. Demikian juga melarang kemungkaran, menuntut agar yang melarang terlebih dahulu mencegah dirinya. Memang, dalam melaksanakan tuntunan Allah akan menghadapi banyak tantangan dan rintangan, karena itu ayat ini juga mengajarkan untuk bersabar terhadap apa yang menimpa dalam melaksanakan tugas menyuruh kepada yang ma`rūf dan mencegah dari kemungkaran. [20]
Ayat-ayat di atas, di samping menunjukkan kewajiban dakwah secara umum, juga menjadi landasan bagi kewajiban suatu badan yang khusus dalam tugas tersebut. Selain dari tiga ayat di atas masih terdapat ayat-ayat lain yang menjadi dasar dari wilāyah al-ĥisbah ini, seperti surat Ali Imran ayat 110 yang mengungkapkan bahwa ada sebagian kecil dari Ahli Kitab yang beriman dan melaksanakan amar ma`rūf dan nahy munkar, surat al-Maidah ayat 78 – 79 yang mengemukakan tentang laknat yang diberikan oleh Allah terhadap Bani Isrā’il dan orang kafir karena mereka membiarkan berlakunya perbuatan mungkar di antara mereka. Kemudian surat al-Taubah ayat 71 – 72 111 – 112 yang mengungkapkan orang-orang beriman akan mendapatkan rahmat Allah swt. karena mereka melaksanakan amar ma`rūf dan nahy munkar, serta surat al-Ĥajj ayat 41 yang menyatakan bahwa Allah telah memberikan keteguhan hati bagi orang yang melaksanakan amar ma`rūf dan nahy munkar.
Adapun dasar hukum dibentuknya wilāyah al-ĥisbah dari Sunnah dapat dilihat dari hadis-hadis berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ  وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ وَهَذَا حَدِيثُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ فَقَالَ قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ. (رواه مسلم) [21]
Dari Abū Bakar bin Abi Syaibah Waki’ menceritakan kepada kami dari Abū Sufyan, Muhammad bin al-Matsani juga menceritakan kepada kami, ِAbū Bakar bercerita kepada kami dari Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah, kedua-duanya berkata hadis ini dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab, ini adalah hadis dari ِAbū Bakar berkata, ia berkata: Orang yang pertama kali melakukan khutbah `ied sebelum shalat adalah Marwan, lalu seseorang berdiri dan berkata: Shalat `ied itu sebelum khutbah, lalu ia berkata: telah ditinggalkan apa yang telah ditetapkan. Maka Abū Said berkata: Adapun hal ini telah ditetapkan, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa di antara kamu yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu mencegahnya dengan tangannya, maka dengan perkataannya, jika ia tidak mampu mencegahnya dengan perkataannya, maka hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Dan itulah yang selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim)
Penjelasan Yusuf al-Qardlawi tentang hadis ini adalah bahwa hadis tersebut menjadi dalil yang kuat untuk menetapkan adanya kewajiban setiap muslim untuk melarang kemungkaran apabila ia melihatnya. Hal ini didasarkan pada lafaz (من) yang terdapat dalam hadis tersebut merupakan lafaz umum. Para ulama ushul berpendapat bahwa lafaz umum ini mencakup setiap orang Islam yang melihat kemungkaran. Karena Rasulullah saw. tidak menyisipkan lafaz istiśna’ (pengecualian) dalam hadis tersebut.[22] Dengan demikian kewajiban nahy munkar itu ada pada setiap orang. Meskipun kewajiban nahy munkar ada pada setiap orang namun kewenangan khusus dan secara terlembaga dibebankan kepada wilayah al-hisbah.
Selanjutnya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Tamim:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ قُلْتُ لِسُهَيْلٍ إِنَّ عَمْرًا حَدَّثَنَا عَنْ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِيكَ قَالَ وَرَجَوْتُ أَنْ يُسْقِطَ عَنِّي رَجُلا قَالَ فَقَالَ سَمِعْتُهُ مِنْ الَّذِي سَمِعَهُ مِنْهُ أَبِي كَانَ صَدِيقًا لَهُ بِالشَّامِ ثُمَّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِم. (رواه مسلم) [23]
Dari Muhammad bin Abbad al-Makkī, dari Sofyān, ia berkata: Saya berkata kepada Suĥail: Sesungguhnya Amar yang telah menyampaikannya kepada kami, dari al-Qa`qa`, dari Bapakmu. Ia berkata saya mengharapkan didatangkan kepadaku seseorang. Lalu ia berkata: Ia berkata saya mendengarnya dari apa-apa yang telah engkau dengarkan dari bapakku yang telah menemaninya ketika berada di Syam, kemudian Sofyan menyampaikan kepada kami dari Suhail dari Atha’ bin Yazid dari Tamim al-Daari, bahwa Nabi saw. bersabda: Agama itu adalah nasehat, kami berkata bagi siapa ya Rasulullah? Lalu Nabi menjawab: Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslim, dan umat-umatnya. (HR. Muslim)
Berdasarkan hadis di atas dapatlah dipahami bahwa keberadaan agama sebagai nasehat merupakan penuntun kepada kemaslahatan masyarakat. Hal ini terdapat dalam lafaz عامتهم karena di dalam lafaz tersebut mengandung bimbingan mereka terhadap kemaslahatan masyarakat untuk dunia dan akherat. Cara yang dilakukan adalah menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka berbuat mungkar dan yang diberi wewenang secara terstruktur adalah wilayah al-hisbah.[24]
Yusuf al-Qaradlawi menguraikan syarat-syarat dalam mengubah kemungkaran sebagai berikut:[25]
a.        Kemungkaran tersebut harus disepakati sebagai sesuatu yang diharamkan.
b.       Kemungkaran itu harus tampak
c.        Mengubah kemungkaran dengan kekuatan harus diukur menurut kesanggupan,
d.       Tidak dikhawatirkan akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
Berdasarkan kepada dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang telah penulis kemukakan di atas, menurut pendapat yang terkuat, para ulama sepakat mengatakan bahwa hukum al-ĥisbah adalah fardhu kifayah. Dengan demikian jika salah seorang dari umat Islam telah melaksanakannya, maka gugurlah kewajiban tersebut bagi umat Islam lainnya. Meski demikian, jika ternyata tak ada seorang pun yang mampu menunaikannya, maka perintah tersebut menjadi fardhu ‘ain bagi pihak yang mampu melakukannya dan pihak yang paling mampu untuk itu adalah pemegang kekuasaan dan kekuatan, yaitu pemerintah.

C.    Pertumbuhan dan Perkembangan Wilāyah al-ĥisbah

Wilāyah al-ĥisbah sudah ada semenjak periode Rasulullah saw. kemudian diteruskan oleh khalifah al-Rāsyidīn (Abū Bakar al-Şiddiq, Umar bin Khattab, Uśman bin Affan, dan Ali bin Abi Ţalib). Keberadaan wilāyah al-ĥisbah tetap berlanjut sampai pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Mereka menjaga agar amar ma`rūf dan nahy munkar tetap terjaga di muka bumi ini. Mereka mengelilingi pasar, menelusuri jalan-jalan umum, untuk memberi ganjaran orang-orang yang membuat kemungkaran, baik dari aspek aqidah, sosial, politik, maupun ekonomi. Selangkapnya, penulis mencoba menguraikan pertumbuhan dan perkembangan dengan membaginya kepada empat masa, yaitu masa Rasulullah saw., masa khulafā’ al-rasyidin, Bani Umayyah, dan Bani Abbasiyyah.
1.      Masa Rasulullah saw.
Pada masa Rasulullah saw., wilāyah al-ĥisbah belum terbentuk menjadi sebuah lembaga, yang ada hanyalah praktek-praktek penegakan al-Amru bi  al-ma`rūf wa nahy an al-munkar yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw. Hal ini terlihat pada saat Rasulullah saw. berjalan-jalan di pasar Madinah. Ketika itu Rasulullah saw. melewati sederetan penjual makanan, tiba-tiba Rasulullah saw. memasukkan tangannya ke dalam gundukan gandum, lalu tangan Rasulullah saw. menemukan bagian yang basah. Rasulullah saw. menanyakan kepada penjual gandum tersebut kenapa gandumnya basah. Pedagang itu menjawab bahwa gandumnya ditimpa hujan. Selanjutnya Rasulullah saw. berkata bahwa siapa yang menipu maka ia tidak termasuk dari golongan umatnya, selengkapnya mengenai hadis tersebut dapat dilihat pada bab satu.[26]
Berdasarkan hadis tersebut terlihat bahwa kegiatan Rasulullah saw. yang selalu keliling mengawasi pasar Madinah tersebut merupakan upaya beliau untuk mengontrol kegiatan perekonomian di pasar. Jangan sampai terjadi perlakuan yang menyimpang dari syari’at Islam di pasar tersebut. Nah, apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. tersebut merupakan cikal bakal lahirnya wilāyah al-ĥisbah pada periode selanjutnya.
Rasulullah pernah menumpahkan tumpukan khamar penduduk Ja’ranah yang sedang memperdagangkan khamar.[27] Ini merupakan tindakan tegas Rasulullah saw. untuk mencegah masyarakat dari kebiasaan mabuk-mabukan. Tindakan Rasulullah saw. tersebut yang dianggap sebagai upaya al-ĥisbah. Dalam hadis lain dijelaskan bahwa seorang laki-laki memperdagangkan harta anak yatim yang dibelikannya kepada khamar. Lalu Rasulullah saw. memerintahkan agar menumpahkan khamar tersebut. Laki-laki itu mengatakan bahwa modal dagangan itu berasal dari harta anak yatim. Akan tetapi Rasulullah saw. tetap memerintahkan agar menumpahkannya meskipun modalnya dari harta anak yatim. Kemudian khamar itu ditumpahkan, selengkapnya hadis tersebut berbunyi:
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَال سَمِعْتُ لَيْثًا يُحَدِّثُ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبَّادٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ أَبِي طَلْحَةَ أَنَّهُ قَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي اشْتَرَيْتُ خَمْرًا لأَيْتَامٍ فِي حِجْرِي قَالَ أَهْرِقْ الْخَمْرَ وَاكْسِرْ الدِّنَانَ. (رواه الرمذي) [28]
Diriwayatkan dari Humaid bin Mas`adah, dari al-Mu`tamir bin Sulaiman berkata: Saya mendengar Laits berkata dari Yahya bin Abbad dari Anas dari ِAbū Thalhah Bahwa dia berkata: Wahai Nabi Allah! Saya telah membeli khamr dari harta anak yatim yang beradai di bawah lindunganku. Rasulullah saw. bersabda: Curahkanlah dan pecahkan wadahnya. (HR. al-Tirmiźi)
Rasulullah saw. juga pernah melarang sahabat duduk-duduk di pinggir jalan yang mengakibatkan terganggunya ketertiban dan keamanan. Ketika itu Rasulullah saw. mendatangi sekelompok sahabat yang sedang duduk-duduk di pinggir jalanan umum, kemudian Rasulullah saw. menyuruh mereka agar menjauhi majelis-majelis tersebut. Berikut bunyi hadisnya:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ أَبُو طَلْحَةَ كُنَّا قُعُودًا بِالأَفْنِيَةِ نَتَحَدَّثُ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ عَلَيْنَا فَقَالَ مَا لَكُمْ وَلِمَجَالِسِ الصُّعُدَاتِ اجْتَنِبُوا مَجَالِسَ الصُّعُدَاتِ فَقُلْنَا إِنَّمَا قَعَدْنَا لِغَيْرِ مَا بَاسٍ قَعَدْنَا نَتَذَاكَرُ وَنَتَحَدَّثُ قَالَ إِمَّا لا فَأَدُّوا حَقَّهَا غَضُّ الْبَصَرِ وَرَدُّ السَّلامِ وَحُسْنُ الْكَلامِ. (رواه مسلم)[29]
Diriwayatkan dari ِAbū Bakar bin ِAbū Syaibah, dari Affan, dari Abd al-Wahid bin Ziyad, dari Utsman bin Hakiim, dari Ishak bin Abdullah bin ِAbū Thalhah, dari Bapaknya, berkata: ِAbū Thalhah berkata: Pada suatu ketika, kami sedang duduk-duduk dan bercakap-cakap di jalanan. Rasulullah saw. mendatangi kami seraya bersabda: Apa kerja kalian duduk-duduk di jalanan? Jauhilah duduk-duduk di jalanan! Jawab kami, Kami hanya sekedar duduk-duduk dan bercakap-cakap. Beliau Bersabda: Kalau begitu, tunaikan hak pejalan. Yaitu: picingkan mata, jawab salam, dan berbicaralah yang baik. (HR. Muslim)
Adapun sebab munculnya hadis ini adalah sebagaimana diceritakan oleh Abū Ţalĥah: Kami duduk-duduk di tepi jalanan umum. Tiba-tiba Rasulullah saw. datang, beliau berdiri di depan para sahabat seraya berkata: mengapa kalian berada di majelis ini? Mereka menjawab: kami berkumpul untuk berbincang-bincang ya Rasulullah! Kemudian beliau bersabda: Jika begitu tunaikanlah hak-hak orang yang lewat, menundukkan pandangan, menjawab salam, dan berkata baik. Al-Zamkhasyari menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah majlis atau pertemuan yang digunakan untuk sekedar obrolan mengeluarkan kata-kata kosong, atau keji. Makruh hukumnya duduk-duduk di pinggir apalagi di tengah jalan karena dapat mempersulit orang-orang yang berjalan. Adapun pertemuan-pertemuan untuk kebaikan diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.[30]
Pada awal pemerintahan Islam di Madinah, tugas al-ĥisbah ini masih diemban langsung oleh Rasulullah saw, akan tetapi pada masa-masa berikutnya, setelah penaklukkan kota Mekkah, seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam, tugas al-ĥisbah untuk mengawasi pasar beliau delegasikan sahabatnya. Seperti: Untuk pengawasan pasar Madinah beliau delegasikan kepada Umar bin al-Khaţţab. Sedangkan untuk mengawasi pasar Mekkah beliau delegasikan kepada Sa`ad bin Said bin Aş. Selain pengawasan terhadap pasar tersebut, Rasulullah juga pernah menyuruh Ali bin Abi Ţālib untuk menghancurkan seluruh berhala serta bangunan kuburan di Madinah.[31]
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dipahami, bahwa penerapan al-ĥisbah pada masa Rasulullah saw. ini masih dipegang langsung oleh Rasul sebagai kepala negara. Beliau juga menugaskan sahabatnya untuk melaksanakan al-ĥisbah dalam rangka pembelajaran bagi masa selanjutnya.
2.      Masa Khulafa’ al-Rasyidin
Pada awal pemerintahan khalifah, yaitu pada masa Abū Bakar al-Şiddiq, wewenang al-ĥisbah dipegang langsung oleh khalifah (Abū Bakar). Bentuk pelaksanaan al-ĥisbah yang dilakukan oleh Abū Bakar al-Şiddiq adalah: Ia terjun langsung memerangi orang-orang yang murtad, nabi palsu, dan orang-orang yang enggan membayar zakat.[32] Meskipun demikian, ِAbū Bakar juga pernah mendelegasikan wewenang al-ĥisbah kepada Umar bin al-Khaţţab.
Setelah masa pemerintahan ِAbū Bakar al-Şiddiq berakhir dan dilanjutkan oleh Umar bin al-Khaţţab. Kekuasaan al-ĥisbah masih dipegang langsung oleh khalifah. Hal ini bisa dilihat ketika Umar bin al-Khaţţab sedang mengawasi pasar Madinah. Tiba-tiba beliau melihat seorang pemilik kuda yang menaruh beban di punggung kudanya melebih beban yang sesuai dengan kemampuan kuda tersebut. Perilaku pemilik kuda yang sangat buruk terhadap kudanya tersebut langsung ditegur oleh Umar bin al-Khaţţab, seraya berkata: “Engkau bebani kudamu dengan beban yang sangat berat, yang tidak sanggup dibawanya”.[33]
Kemudian Umar bin al-Khaţţab juga pernah menegur penjual susu yang mencampur susu dengan air untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Setelah itu Umar bin al-Khaţţab menyuruhnya menumpahkah susu yang telah dicampur air tersebut.[34] Ia juga merobek baju sutra yang dipakai oleh Ibnu Zubair.[35] Selanjutnya sikap tegas Umar bin al-Khaţţab terlihat ketika ia memerintahkan al-muĥtasib untuk membakar kedai-kedai (al-ĥanut) yang memperjualbelikan khamar. Sikap tegas ini beliau lakukan sebagai sebuah tindakan preventif agar masyarakat terhindar dari meminum khamar yang sudah diharamkan secara tegas dalam syari’at Islam.[36] Di samping itu, Umar juga pernah memukul pedagang-pedagang yang berjualan di sepanjang jalanan umum yang mengakibatkan terganggunya orang yang ingin melewati jalan umum tersebut.[37]
Untuk menjamin terjadinya persaingan sehat di pasar, Umar bin al-Khaţţab juga pernah menegur Ĥaţib bin Balta`ah yang menjual anggur di bawah harga normal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik berikut ini:
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يُونُسَ بْنِ يُوسُفَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مَرَّ بِحَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ وَهُوَ يَبِيعُ زَبِيبًا لَهُ بِالسُّوقِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِمَّا أَنْ تَزِيدَ فِي السِّعْرِ وَإِمَّا أَنْ تُرْفَعَ مِنْ سُوقِنَا. (رواه مالك) [38]
Diriwayatkan dari Malik dari Yunus bin Yusuf dari Said al-Musayyab: “Bahwa Umar bin al-Khaţţab melewati Hatib bin Balta’ah ketika ia sedang menjual buah anggur kering (kismis) miliknya di pasar. Lalu Umar bin al-Khaţţab mengatakan kepadanya: “Kamu pilih untuk menaikkan harga atau kamu menariknya dari pasar kami. (HR. Malik)
Dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam, maka semakin bertambah pula pekerjaan yang harus dilakukan oleh seorang khalifah. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan ِAbū Bakar al-Şiddiq, Umar bin Khaţţab juga mendelegasikan wewenang wilāyah al-ĥisbah kepada beberapa orang sahabatnya, antara lain: Said bin Yazid, Abdullah bin Utbah, dan termasuk seorang wanita yang bernama Umm al-Syifa’.[39] Umm al-Syifa’ ini khusus ditugaskan untuk mengawasi pasar Madinah.
Berdasarkan catatan para ulama, pada masa pemerintahan Umar ibn al-Khaţţab inilah untuk pertama kalinya pembagian secara jelas wewenang dari peradilan, yaitu antara wilayah al-qadlā’, wilayah al-mażalim, dan wilāyah al-ĥisbah.[40]
Setelah Umar bin al-Khaţţab meninggal dunia dan digantikan oleh Uśman bin Affan penerapan al-ĥisbah di pasar Madinah tetap dilakukan. Berbeda dengan yang dilakukan oleh Umar bin Khaţţab, Uśman tidak terjun langsung untuk menerapkan al-ĥisbah tersebut. Akan tetapi beliau menugaskan seseorang laki-laki dari Bani Lais yang bernama al-Ĥāris Ibn al-Ĥakkam untuk mengawasi pasar Madinah. Ketika itu pasar Madinah sering terjadi kekacauan-kekacauan serta praktek-praktek jual beli yang mengandung unsur kecurangan dan kebatilan. Meskipun demikian Uśmān bin Affan pernah membakar muşhaf-muşhaf yang berbeda dengan muşhaf milik Imam.[41]
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, pelaksanaan al-ĥisbah tetap berada langsung di bawah kendali khalifah. Namun tidak beberapa lama setelah itu beliau mengangkat al-Jamrah sebagai al-muĥtasib yang bertugas di daerah Aĥwaz. Tugas ini dilaksanakan oleh al-Jamrah sampai pada masa awal Bani Umayyah. Keberadaan al-ĥisbah pada masa Ali bin Abi Ţalib ini bisa dilihat dari perbuatan Ali bin Abi Ţalib yang menyuruh al-muĥtasib membubarkan tempat-tempat penjualan khamar.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa wilāyah al-ĥisbah pada periode khulafa’ al-rasyidin sudah diterapkan di pasar-pasar. Namun belum menjadi sebuah lembaga seperti yang ada pada masa-masa berikutnya, yaitu pada Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Wilāyah al-ĥisbah pada periode khulafa’ al-rasyidin ini masih dipegang langsung oleh khalifah dan sesekali juga didelegasikan kepada seseorang yang dianggap kredibel untuk melaksanakannya.
3.      Masa Bani Umayyah
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah ini, al-muĥtasib masih diangkat dan diberhentikan oleh khalifah. Sebagaimana Muawiyah mengangkat Qais bin Hamzah al-Mahdany sebagai al-muĥtasib. Namun kemudian dia dipecat oleh Muawiyah karena melakukan penyelewengan-penyelewengan. Setelah memecat Qais bin Ĥamzah, Muawiyah menggantinya dengan Jamal bin Umarah al-Uzr.[42]
Pada masa ini, dalam pelaksanaan tugasnya, al-muĥtasib tidak lagi dicampuri oleh khalifah. Fungsi khalifah hanya menetapkan peraturan pelaksanaannya saja. Sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Abd al-Aziz, ia telah membuat aturan takaran dan timbangan untuk melindungi kepentingan masyarakat.[43]
Sementara istilah şāhib al-sūq (صاحب السوق) lebih akrab di telinga orang Andalusia dibandingkan dengan wilāyah al-ĥisbah. Istilah itu digunakan, karena kewenangannya yang paling banyak terkait dengan membimbing dan mengawasi pasar.[44] Al-Maqr membatasi batas wilayah bagi pelaksanaan al-ĥisbah hanya di Andalusia saja. Petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis al-ĥisbah diuraikan dan dirinci dengan baik, hingga harga barang-barang yang dibutuhkan masyarakat dibatasi, kemaslahatan para pembeli sangat diperhatikan. Aturan yan diuraikan secara rinci tersebut adalah tentang permasalahan jual beli.
Keberadaan wilāyah al-ĥisbah pada masa Bani Umayyah ini sudah menjadi lembaga tersendiri. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam kitab Tārikh al-Daulah al-Arābiyah, yaitu pada masa pemerintahan Bani Umayyah peradilan dibagi kepada dua bagian yaitu peradilan syari’ah yang hukum-hukumnya bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, Ijma’ dan Qiyas serta wilāyah al-ĥisbah yang sebagian dari peraturan-peraturannya bersumber dari ijtiĥad para ulama.[45]
Ketentuan pelembagaan wilāyah al-ĥisbah ini pada masa Bani Umayyah juga diperkuat oleh Joeseph Schacht dalam bukunya “an Introduction to Islamic Law”. Menurutnya lembaga ini diadopsi dari lembaga peradilan yang ada pada kerajaan Byzantium. Di mana lembaga ini merupakan bagian dari peradilan yang diberi nama Agoronomos dan dalam bahasa Arab disebut āmil al-sūq (عامل السوق) atau Şāĥib al-sūq. Maksudnya adalah lembaga pengawas pasar.[46]
Tesis Joeseph Schacht tersebut ada benarnya dari satu sisi dan tidak sepenuhnya benar pada sisi yang lain. Dari aspek kelembagaan, pendapat Joeseph Schacht dapat diterima, namun dari aspek materi al-ĥisbah itu sendiri tidak tepat dikatakan kalau wilāyah al-ĥisbah diadopsi dari Byzantium. Meskipun kerajaan Byzantium memiliki “spektor of market” tetapi tidak sama dengan wilāyah al-ĥisbah dalam sistem peradilan Islam. Hal tersebut akan terlihat secara jelas bila menelusuri kewenangan masing-masing lembaga. Spektor of market pada kerajaan Byzantium hanya bertugas sebagai pengumpul bayaran wajib para pedagang (collective obligation) atau pajak penjualan. Berbeda halnya dengan wilāyah al-ĥisbah, lembaga ini tidak menarik pajak penjualan dari pedagang, melainkan mengawasi mekanisme pasar supaya berjalan sesuai dengan tuntunan syari’at. Di samping itu, dari segi sejarah berdirinya pun, lebih mempertegas lagi bahwa adanya wilāyah al-ĥisbah merupakan produk Islam. Karena pada masa Rasulullah saw. gambaran tentang tugas ini sudah ada, walaupun belum menjadi sebuah lembaga khusus sebagaimana yang terdapat pada masa-masa sesudahnya.
Kewenangan wilāyah al-ĥisbah pada masa Bani Umayyah, sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Jalal Syarif dan Ali Abd al-Mu’ţy Muhammad, adalah menindak pelanggaran-pelanggaran hukum syara’ secara segera, mengatur pasar, mengecek timbangan, takaran dalam pasar, dan lain sebagainya. Bahkan, antara wilāyah al-ĥisbah dan wilayah al-qadlā’  saling berkaitan.[47]
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa wilāyah al-ĥisbah pada masa ini sudah menjadi lembaga khusus dari lembaga peradilan yang ada. Akan tetapi pengangkatan dan pemberhentian al-muĥtasib masih menjadi wewenang khalifah. Kewenangan al-muĥtasib tetap mengatur dan mengontrol pasar-pasar dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis bagi pelaksanaan al-ĥisbah sudah disusun dengan baik.
4.      Masa Bani Abbasiyyah
Pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, wilāyah al-ĥisbah sudah terlaksana dengan baik. Lembaga ini berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil timbulnya perkara-perkara peradilan yang harus diselesaikan oleh wilayah al-qādla. Hal ini dijelaskan oleh Joeseph Schacht, bahwa pada saat ketika hakim-hakim peradilan menghadapi perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk mengadakan akomodasi dengan al-muĥtasib. Menurutnya lembaga ini dilanjutkan oleh Islam sebagai perpanjangan tangan dari kerajaan Byzantium.
Lebih lanjut Joeseph Schacht menjelaskan bahwa periode awal Abbasiyah tetap mempertahan fungsi ini dengan meng-Islamisasikannya, seperti penghentian pengumpulan pajak jual beli, menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat mungkar, memperteguh sikap dan moral yang sesuai dengan ajaran Islam.
Pada masa pemerintahan khalifah al-Ma’mun wilāyah al-ĥisbah sudah terkoordinir dengan baik. Dengan mengemban tugas seperti pemeliharaan pasar, menertibkan dan mewujudkan kemaslahatan dalam jual beli. Keberadaan wilāyah al-ĥisbah sangat urgen sekali, karena selain berfungsi sebagai pengatur pasar juga pemeliharaan pasar dari masuknya bahan-bahan makanan yang merusak masyarakat, melarang penipuan dalam bidang perdagangan, timbangan, takaran, menertibkan kegiatan para pedagang yang terlalu rakus dalam mengumpulkan keuntungan diri sendiri dengan cara melakukan iĥtikar.[48]
Adapun tugas al-muĥtasib adalah melakukan inspeksi ke pasar-pasar sambil membawa timbangan dan takaran yang sah agar mereka dapat mengecek timbangan para pedagang dengan timbangan mereka, demikian juga takaran para penjual akan dibandingkan dengan takaran yang mereka bawa sebagai pedoman.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah ini, al-muĥtasib dipilih oleh para qādli dengan ketentuan bahwa orang tersebut mempunyai sifat iffah, jujur, dan terpercaya. Antara qādli dan al-muĥtasib saling bekerja sama. Dalam melaksanakan tugasnya, al-muĥtasib kadang-kadang dikawal oleh şāhib al-surţah (صاحب السرطة) agar masyarakat lebih berhati-hati dan tetap menjalankan hukum-hukum syari’at.
Berdasarkan penjelasan yang telah penulis paparkan dapatlah dipahami bahwa wilāyah al-ĥisbah pada masa Bani Abbasiyah ini, sudah menjadi lembaga secara mandiri, sebagaimana lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Secara struktural, wilāyah al-ĥisbah berada di bawah kewenangan wilāyah al-qādli. Dengan begitu, pengangkatan dan pemberhentian al-muĥtasib juga dilakukan oleh al-qādli. Daerah kewenangan wilāyah al-ĥisbah ini adalah di lingkungan pasar untuk mengatur para penjual dan pembeli agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik yang terkait dengan jual beli, ibadah, dan akhlak, maupun yang terkait dengan penertiban-penertiban pasar.
Wilāyah al-ĥisbah tetap bertahan pada sebagian besar dunia Islam, sampai sekitar awal abad 18. Selama periode Dinasti Mamluk, lembaga ini mempunyai peranan yang sangat penting, hal ini dibuktikan dengan hasil positif yang telah dicapai selama periode ini, yaitu sedikitnya perkara yang sampai ke meja hakim karena sudah bisa di tanggulangi oleh al-muhtasib. Di Mesir, institusi ini tetap bertahan sampai masa pemerintahan Muhammad Ali (1805 – 1849). Di Maroko, lembaga serupa masih ditemukan sampai awal abad ke-20. Di Romawi Timur, yang telah melakukan kontak dengan dunia Islam melalui perang Salib, telah mengadopsi lembaga ini, tetapi mereka menamainya dengan istilah mathessep yang berasal dari istilah muĥtasib.[49]

D.    Wewenang dan Kekuasaan Wilāyah al-Ĥisbah

Fuqaha’ telah menyepakati bahwa wewenang wilāyah al-ĥisbah meliputi seluruh pelanggaran terhadap prinsip amar ma`rūf dan nahy munkar yang berada di luar wewenang wilāyah qadlā’ dan wilāyah al-mażalim, baik yang berkaitan dengan pelanggaran sosial maupun pelaksanaan ibadah.
Pengawasan adalah menjadi tugas terpenting wilāyah al-ĥisbah. Namun begitu wilāyah al-ĥisbah juga mempunyai kekuasaan yang lain, yaitu meliputi kekuasaan pengawasan, mendengar tuduhan, mendengar dakwaan, menasihati atau menegur dan menghukum. Bagaimana pun kekuasaan tersebut terbatas kepada hal-hal tertentu saja, untuk mencegah terjadinya tumpang tindih antara tugas al-muĥtasib dengan hakim. Umpamanya, berbeda dengan wilāyah al-qadlā’, wilāyah al-ĥisbah hanya boleh mengendalikan kemungkaran yang nyata dan terbuka serta adanya tuntunan yang jelas. Bagi kejahatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi serta perkara yang mengandung dakwaan dan membutuhkan kesaksian, maka perkara itu diserahkan kepada wilāyah al-qadlā’. Akan tetapi, al-muĥtasib boleh bertindak tanpa permintaan, atau pengaduan, sangat berbeda sekali dengan wilāyah al-qadlā’ yang hanya boleh bertindak jika ada pengaduan atau dakwaan.[50]
Tegasnya, Institusi al-ĥisbah adalah elemen pelengkap dalam menjaga syari`at Islam. Kekuasaan dan hukuman secara langsung yang dilakukan oleh al-muĥtasib merupakan sebahagian dari ajaran Islam yang mengarahkan umatnya mencegah kemungkaran dengan ‘tangan’ atau kekuasaan apabila terdapat maksiat yang terjadi di depan mata, terdakwa langsung dikenakan tindakan tanpa perlu dibawa ke hadapan hakim. Tindakan yang diambil oleh al-muĥtasib dilakukan secara berperingkat berawal dengan nasihat. Jika cara nasihat tidak diindahkan, barulah al-muĥtasib mengambil langkah seterusnya berbentuk hukuman. Pelaksanaan hukuman secara langsung ini berlaku jika kesalahan yang dilakukan adalah kesalahan kecil dan ini tidak berlaku bagi yang melakukan kesalahan yang berat atau besar. Lebih jelasnya al-Gazali memaparkan tingkatan dalam mengambil tindakan yang dilakukan oleh al-muĥtasib:[51]
1.      Menyadarkan atas buruk baiknya suatu perbuatan, metode yang digunakan adalah nasehat,
2.      Memperingatkan agar mengerjakan perbuatan yang ma`rūf dan menjauhi perbuatan yang mungkar,
3.      Mengancam dengan hukuman, baik dengan menyebutkan hukuman-hukuman Tuhan maupn hukuman-hukuman negara,
4.      Berkata keras kalau perlu menghardiknya supaya ia sadar atas kesalahannya,
5.      Menyuruh atau melarang sesuatu dengan tangan, jika pihak yang bersalah masih tidak dapat disadarkan dengan ancaman. Al-Muĥtasib bisa juga menggunakan tangan atau kekuasaan (al-tagyir bi al-yad). Tindakan menggunakan tangan ini bukanlah bermaksud memukul tetapi cara menggunakan tangan sekiranya perlu seperti menumpahkan arak yang sedang diminum, melepaskan baju sutera yang dipakai oleh seorang lelaki, menyegel tempat hiburan yang menyesatkan masyarakat, memusnahkan buku-buku yang menyesatkan, membuang tanda salib yang dipakai oleh orang Islam, memulangkan harta orang yang dirampas,
6.      Memberikan hukuman prefentif untuk menyadarkannya seperti melarang berjualan di pasar, mengusir penghuni rumah yang tidak memiliki izin resmi, dan sebagainya.
7.      Menggunakan sebatan/cambuk dan menahan (al-jild wa al-ĥabs). Tindakan ini dilakukan sekiranya nasehat dan peringatan tidak membuat orang yang bersalah berhenti dari mengulangi kesalahannya atau orang yang bersalah secara terang-terangan melakukan kesalahan tanpa menghormati larangan yang ditetapkan, seperti mengulangi makan secara terbuka pada bulan Ramadhan, memperlihatkan aurat, dan meminum minuman keras secara terbuka. Kesemuanya dilakukan tanpa adanya rasa segan pada orang banyak. Tindakan ini baru boleh dilakukan apabila segala upaya lain tidak berhasil. Pemukulan tersebut juga dilakukan dengan tidak membahayakan anggota tubuhnya.
8.      Menggunakan para aparat keamanan atau kekuatan senjata. Tindakan ini perlu dilakukan jika orang yang melanggar undang-undang itu orang yang kuat atau berkuasa dan mencoba melawan dengan menggunakan kekerasan.
9.      Mengenakan pelbagai bentuk hukuman ta`zir.[52] Hukuman ta`zir ini boleh dilaksanakan dengan pelbagai bentuk baik itu memukul, memenjarakan, menyingkirkan, menjatuhkan atau mengumumkan kesalahan orang tersebut di khalayak ramai. Kekuasaan ta`zir ini diserahkan kepada al-muĥtasib dan hukuman yang dijatuhkan setimpal dengan kesalahan yang dilakukan.
Di samping itu, sejarah Islam menunjukkan bahwa wilāyah al-ĥisbah juga diberikan beberapa  peranan yang khusus menangani wilayah dan sektor sektor tertentu. Umpamanya terdapat anggota wilāyah al-ĥisbah yang khusus menjaga pasar dan pusat perniagaan (umana’ al-sūq) dan al-muĥtasib yang mengawasi perencanaan dan industri (‘urafa’ al-ĥirāi wal-sinā`at). Mereka berperanan untuk mengawasi segala bentuk penipuan, pemalsuan, dan penyelewengan yang terjadi dalam perjanjian perniagaan dan industri. Terdapat juga anggota wilāyah al-ĥisbah yang menjadi wakil di tempat-tempat strategis dari segi ekonomi dan keamanan seperti pelabuhan, kawasan perairan dan sepanjang pantai. Terdapat juga anggota wilāyah al-ĥisbah yang dikenal sebagai petugas-petugas pengamanan (al-a’awan, al-gulam wa al-syurţah) yang berperanan membantu wilayah al-qadlā’ dalam usaha mengawasi peraturan baik secara lembut atau keras. 
Secara umum wewenang wilāyah al-ĥisbah dapat dibagi kepada tiga bagian yang dikaitkan dengan al-amru bi al-ma`rūf wa nahy an al-munkar, yaitu:
1.      Perkara-perkara yang berkaitan dengan hak-hak Allah swt.
a.      Al-Amru bi al-Ma`rūf
Memerintahkan kepada perbuatan baik ini meliputi semua jenis ibadah seperti shalat wajib lima waktu secara berjamaah, shalat Jum’at, puasa, zakat, haji, dan lain-lain.[53] Al-Muĥtasib bertanggungjawab untuk memastikan perintah Allah swt. ini dijalankan oleh orang-orang Islam yang berada di kawasannya.
b.      Al-Nahy an al-Munkar
Melarang manusia dari melakukan kemungkaran (al-nahy an al-munkar) seperti:
1)      Dalam hal aqidah: mencegah munculnya aqidah-aqidah batil yang bertentangan dengan aqidah Islam, seperti: beribadah kepada Allah swt. melalui wasilah kepada pohon-pohon besar, batu-batuan, kuburan-kuburan, dan lain sebagainya.[54]
2)      Dalam hal ibadah: mencegah orang melakukan ibadah tidak mengikut syari`at Islam, orang yang tidak memperhatikan kesehatan, tubuh, pakaian dan tempat sembahyang, orang yang berbuka puasa pada siang hari bulan Ramadhan tanpa ada uzur syar`i, orang yang tidak membayar zakat, orang yang mengajar dan memberi fatwa tanpa ada ilmu, dan lain sebagainya.  
3)      Berkaitan dengan larangan-larangan syara’. Mencegah orang banyak berada di tempat-tempat yang meragukan dan yang bisa mendatangkan fitnah serta tuduhan orang, seperti percampuran antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram di tempat-tempat yang bisa menimbulkan fitnah
4)      Berkaitan dengan mu’amalah. Hal ini berkaitan dengan transaksi-transaksi yang mungkar dari sudut syara’ seperti jual beli yang tidak sah dan segala urusan jual beli yang dilarang oleh syara’ walaupun di kalangan mereka saling ridla, seperti penipuan dalam harga, timbangan dan sukatan.
2.      Perkara-perkara yang berkaitan dengan hak-hak manusia, dapat dibagi kepada dua bentuk, yaitu hak umum dan hak khusus.[55]
a.      Al-Amru bi al-Ma`rūf
1)      Hak Umum, mencakup semua perkara yang berkaitan dengan keperluan manusia seperti persediaan air minum di dalam sebuah negeri atau kemudahan-kemudahan dalam masyarakat. Perkara ini tergantung kepada keadaan keuangan negeri atau bait al-māl dan pemerintah bertanggungjawab memperbaiki keadaan tersebut. Kalau tidak ada harta bait al-māl, hendaklah diarahkan orang-orang Islam yang kaya untuk menyelesaikan masalah tersebut.
2)      Hak Khusus, mencakup hak-hak yang berkaitan dengan individu-individu, seperti pinjam meminjam, utang piutang, dan lain-lain. Dalam keadaan ini, al-muĥtasib hendaklah memerintahkan kepada orang-orang yang berutang supaya membayar utang-utang mereka dengan ketentuan bahwa yang berutang tersebut mempunyai kemampuan untuk membayar utangnya.
b.      Al-Nahy an al-Munkar
1)      Hak Tetangga, hal ini mencakup seseorang yang berbuat zhalim terhadap tetangganya. Walaupun begitu, al-muĥtasib tidak boleh mengambil tindakan selagi tidak ada pengaduan dari tetangga tersebut.
2)      Di pusat-pusat perniagaan dan di perindustrian. Terdapat tiga keadaan yang perlu diperhatikan. (1) Kesempurnaan dan kekurangan. Contoh: pengobatan yang dilakukan oleh para medis atau dokter, karena jika terjadi kecerobohan dalam tugasnya bisa berakibat fatal bagi pasien. (2) Amanah dan khianat. Contoh: Pekerjaan tukang jahit yang tidak menepati janji. (3) Kualitas atau mutu terhadap yang telah dikerjakannya.
3.      Perkara-perkara yang menjadi hak bersama antara Allah dengan manusia.[56]
a.      Al-Amru bi al-Ma`rūf
1)      Mengarahkan para orang tua untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka apabila anak-anak perempuannya dan calon suami dari anak perempuanya tersebut telah memenuhi segala rukun dan syarat untuk sebuah pernikahan, serta tidak menghalang-halangi mereka untuk itu.
2)      Mewajibkan para wanita mematuhi iddah mereka baik itu iddah wafat maupun iddah talaq.
3)      Mengarahkan para pemilik jasa pengangkutan supaya tidak memberikan muatan secara berlebihan atas kendaraan mereka dan mendesak pemilik hewan ternak agar memberikan makanan yang mencukupi bagi hewan ternak mereka tersebut.
4)      Memelihara barang temuan seperti  mengembalikan barang orang yang hilang kepada yang berhak dan sebagainya.
b.      Al-Nahy an al-Munkar
Antaranya ialah pencegahan terhadap perbuatan mengintip atau merekam secara diam-diam, baik menggunakan kaset maupun kamera video pada rumah orang lain,[57] mencegah imam-imam masjid dari memanjangkan bacaan dalam shalat dan mencegah para hakim yang tidak melayani orang-orang yang bersengketa, mencegah pemilik alat-alat pengangkutan dari membawa lebih dari ketentuan angkutan dan lain lain. Al-Muĥtasib hendaklah melaksanakan segala tugas yang dipertanggungjawabkan kepada mereka oleh pihak yang berkuasa selain dari perkara-perkara yang disebut di atas.
Selain itu, Seorang al-muĥtasib mempunyai kewajiban untuk menghentikan semua bentuk tindakan meminta-minta dan mengemis dengan cara memaksa para pengemis yang masih mampu bekerja untuk mencari lapangan kerja. Bahkan al-muĥtasib memiliki wewenang untuk menjatuhkan hukuman dan sanksi bagi pengemis yang sengaja tidak mematuhi perintahnya.[58]
Al-Muĥtasib juga harus bisa menjaga semua perilaku para pedagang saat mereka sedang melakukan transaksi dengan konsumen para wanita. Jika dia melihat ketidaksenonohan dalam tingkah mereka, maka al-muĥtasib harus memperingatkannya atau menghentikan transaksi tersebut. Ia juga harus memperhatikan hak para budak. Apakah hak-hak mereka sudah dipenuhi dan diperlakukan dengan cara yang adil oleh tuannya, dan tidak dibebeni dengan tugas-tugas di luar kemampuan mereka.[59]
Seorang yang dipercaya sebagai al-muĥtasib haruslah memiliki integritas moral yang tinggi dan kompeten dalam masalah hukum pasar dan industrial. Melalui wilāyah al-ĥisbah, negara menggunakan lembaga itu untuk mengontrol kondisi sosio-ekonomi secara komprehensif atas kegiatan perdagangan dan praktek-praktek ekonomi, yang lebih penting lagi adalah mengawasi industri, jasa profesional, standarisasi produk, mencek penimbunan barang, praktek riba, dan perantara. Al-Muĥtasib juga perlu mengawasi perilaku sosial penduduk, kinerja mereka dalam melakukan kewajiban agama dan kerja untuk pemerintah.

E.     Simpulan

Berdasarkan kepada perbincangan di atas, dapat disimpulkan bahwa wilāyah al-ĥisbah mempunyai wewenang yang agak luas walau pun ia mempunyai batas-batas tertentu. Keluasan skop wewenang wilāyah al-ĥisbah ini berkaitan dengan peranan utamanya yaitu menyeru kepada ma`rūf dan mencegah perbuatan munkar yang memang meliputi aspek yang luas. Keberadaan wilāyah al-ĥisbah sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya syari’at Islam dalam masyarakat.







[1]AW. Munawir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: al-Munawwir, 1984), h. 919
[2]Muhammad Fuad Abd al-Bāqy, Al-Mu`jam al-Mufahras li Alfāż al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Hadis, 1987), h. 200-2001. Dalam al-Qur’an, kata-kata حسب dalam bentuk masdar muncul sebanyak 11 kali, yaitu dalam surat al-Taubah: 60, 69, dan 130, al-Zumar: 38, al-Anfal: 63 dan 64, al-Thalaq: 3, al-Baqarah: 206, Ali Imran: 173, al-Maidah: 107, dan al-Mujadalah: 8. Sedangkan dalam bentuk fiil madhi muncul sebanyak 13 kali baik dalam bentuk mufrad maupun jama’ yaitu dalam surat al-Kahfi: 9 dan 30, al-Ankabut: 2 dan 4, al-Jasiyah: 20, Muhammad: 29, al-Maidah: 74, al-Baqarah: 214, Ali Imran: 142, al-Taubah: 17, al-Mu’minun: 116, al-Naml: 44, dan al-Dahr: 19. Sedangkan dalam bentuk fiil mudhari` muncul sebanyak  31 kali yang mengandung makna mengira dan menyangka, yaitu dalam surat al-Humazah: 3, al-Qiyamah: 3 dan 36, al-Balad: 5 dan 7, Ali Imran: 78, 169, 178, 180, dan 188, al-Anfal: 60, al-Furqan: 44, Ibrahim: 42 dan 47, al-Nur: 11, 15, 39 dan 57, al-A’raf: 29, al-Zukhruf: 37 dan 80, al-Kahfi: 18 dan 105, al-Mu’minun: 56, al-Ahzab: 20, al-Mujadalah: 18, al-Munafiqun: 4, al-Baqarah: 273, al-Naml: 88, al-Hasyr: 14. Sedangkan kata-kata yang muncul dalam bentuk lain yang berawalan dan berakhiran dari akar kata-kata حسب secara keseluruah muncul sebanyak 106 kali.
[3]Al-Mawardi dilahirkan di Bashra tahun 356 H/975 M dan meninggal dunia di Baghdad tahun 450 H/1058 M). Nama lengkapnya adalah ِAbū Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi. Ia seorang pejabat besar yang berpengaruh besar dalam pemerintahan Abbasiyah. Ia mempertahankan sistem politik Islam di tengah semakin menurunnya supremasi politik Dinasti Abbasiyah. Sebelumnya sejak abad ke-8 hingga ke-10, Dinasti Abbasiyah memiliki supremasi politik yang tinggi, Lihat Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Jilid 4, h. 1161
[4]Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulţāniyah wa al-Wilayat al-Dīniyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, [t.th]), h. 299
[5]Nama lengkapnya adalah Muhammad bin al-Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmad bin al-Faraa’ ِAbū Ya`la. Dia adalah seorang ulama yang terkemuka pada zamannya. Ia dilahirkan pada tanggal 29 atau tanggal 28 pada dini hari bulan Muharram pada tahun 380 H dan minggal dunia pada malam Senin bertepatan dengan tanggal 19 Ramadhan tahun 458 H. Lihat Abū Ya`lā Muhammad bin al-Ĥusain al-Farā’[selanjutnya disebut: Ya`lā], Al-Ahkam al-Sulţāniyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 14 dan 19
[6]Ibid., h. 320
[7]Wilāyah al-Qadlā’ ialah lembaga peradilan dengan kekuasaan menyelesaikan berbagai kasus, disebut juga dengan peradilan biasa. Lihat Muhammad Abd al-Rahman al-Bakr, Al-Sulţāh al-Qadlā’iyah wa al-Syakhşiyah al-Qādli, (Kairo: Al-Zukhra’ li A`lām al-Arabī, 1998), Cet. Ke-1, h. 49
[8]Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama yang ahli tafsir, hadis, dan fikih. Nama lengkapnya Taqiyuddin ِAbū Abbas Ahmad bin Abd al-Salam bin Taimiyah. Lahir di Harran, Turki, pada tanggal 10 Rabi’u al-awal 661 H/ 22 Januari 1263 dan meninggal dunia di Damaskus pada tanggal 20 Dzul Qai’dah tahun 728 H/26 September 1328. Ia hidup ketika di dunia Islam tengah terjadi pergolakan sosial, politi, serta mengalami kemunduran, baik karena perpecahan intern sesama dinasti Islam sendiri, maupun karena permusuhannya dengan bangsa Barat (Kristen) dan karena serbuan tentara Tartar (Mongol). Lihat Abdul Aziz Dahlan (ed), op.cit., Jilid-2, h. 623. Lihat juga A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, Penerjemah: Anshari Thayib, judul asli “Economic Concept of Ibn Taimiyah”, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), Cet. Ke-1, h. 15
[9]Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah [selanjutnya disebut: Taimiyah], Al-Ĥisbah fi al-Islam aw Wazīfah al-Ĥukūmah al-Islāmiyah, [selanjutnya disebut: al-Ĥisbah], (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, [t.th]), h. 16
[10]Ibnu Khaldūn memiliki nama asli, yaitu ِAbū Zaid Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun Wali al-Din al-Tunisi al-Hadrami. Ia lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan (732 H (7 Mei 1332 M). Dia meninggal dunia pada tanggal 26 Ramadhan 808 H (16 Maret 1406 M).Ibnu Khaldun dididik oleh keluarga yang terkemuka dalam ilmu pengetahuan maupun politik. Para kakeknya, Banu Khaldun, yang tertua Khaldun bin al-Khattab, pindah ke Andalusia (Spanyol) pada abad ke-18, dengan demikian dia menyaksikan pertumbuhan dan kemunduran kekuasaan Islam di Spanyol. Lihat Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldūn dan Pola Pemikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), Cet. Ke-1, h. 9-13
[11]Abd al-Rahman bin Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldūn, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), Cet. Ke-1, h. 176
[12]Al-Mutaţawwi` adalah orang yang melaksanakan al-amru bi al-ma`rūf wa nahy an al-munkar yang tidak mendapatkan ketetapan tugas tersebut dari penguasa. Ia tidak terikat dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika ia melalui tugas ini, ia tidak mendapat tindakan dari pemerintah. Ia tidak berhak menerima pengaduan. Ia juga tidak berhak menyelidiki kemungkaran yang terjadi. Ia tidak memiliki pembantu dalam tugasnya. Ia tdak boleh memberikan ta’zir. Ia juga tidak menadapatkan gaji tetap dari pemerintah. Lihat Al-Mawardi, op.cit., h. 240
[13]Lihat A.A. Islahi, op.cit., h. 236
[14]Wilāyah al-Maźālim adalah lembaga peradilan yang menangani kasus kelaliman para penguasa dan keluarganya terhadap hak-hak rakyat. Lihat Al-Mawardi, op.cit., h. 242.
[15]Abd al-Raĥman bin Khaldūn, op.cit., h. 225-226
[16]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. Ke-3, Jilid 2, h. 172-175
[17]قرأ رسول الله صلى الله عليه وسلم "ولتكن منكم أمة يدعون إلي الخير" ثم قال "الخير اتباع القرآن وسنتي" (رواه ابن مردويه) . Lihat Abū al-Fadā’ al-Ĥafiz Ibnu Kaśir al-Damsīqī, Tafsir Al-Qur’an al-Aźīm, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), Cet. Ke-1, Jilid 1, h. 372
[18]M. Quraish Shihab, op.cit., h. 175
[19]Ibid., h. 268 - 269
[20]Ibid., h. 136 - 137
[21]Imam ِAbū al-Ĥusain Muslim bin al-Ĥujjāj al-Qusyairī al-Naisābūrī [selanjutnya disebut: Muslim], Shaĥiĥ Muslim bi Syarĥ al-Nawāwī, (Indonesia: Maktab Dahlan, [t.th]), Jilid 1, h. 69
[22]Yusuf al-Qaradlawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1997), h. 19
[23]Muslim, op.cit., h. 74
[24]Ibid.
[25]Yusuf al-Qaradlawi, op.cit., h. 169 - 176
[26]Lihat catatan kaki nomor 9
[27]ِAbū Ubaid al-Qasim bin Salam, Kitab al-Amwāl, (Mesir: Dar al-Fikr, [t.th]), h. 133
[28]Lihat ِAbū Isya Muhammad bin Isya bin Sawrah al-Tirmiźi [selanjutnya disebut: Tirmiźi], Al-Jāmi’ al-Şaĥiĥ Sunan al-Tirmiźi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000),Cet. Ke-1, Jilid 2, h. 309
[29]Muslim, op.cit., h. 141
[30]Ibnu Ĥamzah al-Ĥusein al-Ĥanafi al-Damsyīqī, Asbab al-Wurud; Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-hadits Rasul, Penerjemah: M. Suwarta Wijaya dan Jafrullah Salim, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), h. 41
[31]Muhammad Abd al-Raĥman al-Bakr, op.cit., h. 539
[32]Jalāluddin al-Sayūti, Tārikh Khulafa’ al-Rasyidin, (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th]), h. 67 - 71
[33]Lihat Ĥasan Ibrahim Ĥasan, dkk, Al-Nuzmu al-Islāmiyah, (Kairo: Mathba’ah Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1953), h. 73, lihat juga Muhammad Abd al-Rahman al-Bakr, op.cit., h. 540
[34]Taimiyah, Al-Ĥisbah, op.cit., h. 22
[35]Lihat Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah [selanjutnya disebut: Taimiyah], Majmu`ah al-Fatāwā, [selanjutnya disebut: al-Fatāwā], ([t.t]: Dar al-Wafa’, 2001), Jilid, 28, h. 67
[36]Taimiyah, Al-Ĥisbah, Loc.cit.
[37]Ĥasan Ibrahim Ĥasan, Loc.cit.
[38]Lihat Imam Malik bin Anas [selanjutnya disebut: Malik], Al-Muwaţţa’, ([t.t]: Al-Maktabah al-Taufiqiyah, [t.th]), Juz 1, h. 127
[39]Muhammad Abd al-Raĥman al-Bakr, op.cit., h. 540
[40]Muhammad Salam Mażkur, Al-Qadlā’ fi al-Islām, (Kairo: Dar al-Nadwah al-Arabiyah, [t.th]), h. 148
[41]Taimiyah, Al-Fatāwā, op.cit., h. 65
[42]Ibn Ĥasan Aqi ibn al-walid al-Syaiban ibn Kaśīr, Al-Kamil fi al-Tarikh, (Beirut: Dar-al-Shadan, [t.th]), Juz 4, h. 11
[43]Ĥasan Ibrahim Ĥasan, Tārikh al-Islam; al-Siyasy wa al-Diny wa al-Śaqafy wa al-Ijtiĥady, (Kairo: al-Nadwah al-Hashriyah, [t.th]), Jilid 1, h. 489
[44]Ibid., h. 203-265
[45]Abd al-Aziz Salim, Tarikh Daulah Arabiyah, (Iskandariyah: Muassasah Śabab al-Jami’ah, 1997), h. 381
[46]Joeseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Clarendon Press, [t.th]), h. 25
[47]Muhammad Jalal Syarif dan Ali Abd al-Mu’ţy Muhammad, Al-Fikr al-Siyāsy fi al-Islam; Syakhşiyah wa Mazahib, (Iskandariyah: Dar al-Jami’ah al-Mishriyah, 1978), h. 158
[48]Ali Muhammad Radly, Aşr al-Islam al-Zahabi al-Ma’mun, (Mesir: Dar al-Fikr, [t.th]), h. 143
[49]A. A. Islahi, op.cit., h. 238
[50]Lihat Aţiyah Masyrifah, Al-Qadlā’ fi al-Islām, ([t.t]: Syirkah al-Syarq al-Ausaţ, 1966), Cet. Ke-2, h. 179, bandingkan dengan al-Mawardi, op.cit., h. 301 – 302
[51]Lihat Imam ِAbū Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Gazali, Ihya’ Ulum al-Dīn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid 2, h. 357 - 360
[52]Ta`zir berarti larangan, pencegahan, menegur, menghukum, mencela dan memukul. Hukuman yang tidak ditentukan bentuk dan jumlahnya, yang wajib dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk ke dalam hudud dan kafarat, baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah swt. Maupun hak pribadi. Ulama’ fikih juga mengartikan ta`zir dengan ta’dib. Ulama’ fikih membagi ta`zir kepada dua bentuk, yaitu: 1. Al-Ta`zir alaa al-ma`asy (ta`zir terhadap perbuatan maksiat), dan 2. Al-Ta`zir li al-maslahah al-ammah (ta`zir untuk kemaslahatan umum), Lihat Abdul Aziz Dahlan (ed), op.cit., Jilid 5, h. 1771 - 1772
[53]Ya`lā, op.cit., h. 325 – 330, lihat juga al-Mawardi, op.cit., h. 303
[54]Abdu al-Qadir Zaidan, Uşul al-Aqidah, (Beirut: Dar al-Babair, 1998), Cet. Ke-3, h. 193, lihat juga Muhammad Abd al-Raĥman al-Bakr, op.cit., h. 547
[55]Lihat al-Mawardi, op.cit., h. 350, lihat juga Ya`lā, op.cit., h. 326
[56]Lihat Ya`lā, op.cit., h. 342, bandingkan dengan al-Mawardi, op.cit., h. 319
[57]Yusuf al-Qaradlawi, op.cit., h. 173
[58]Ahmad Mustaq, Etika Bisnis dalam Islam, Penerjemah: Samson Rahman, Judul Asli “Business Ethics in Islam”, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), Cet. Ke-1, h. 166
[59]Ibid., h. 167

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons